Bila nanti rembulan terbelah dua
Tak tahu mana yang kan kupilih
Menjadi pengisi separuh hatiku
Memilih itu sama halnya dengan berjudi
Jika salah, akan rugi
Jika benar, akan untung seumur-umur
Mungkin aku akan menunggu wangsit
Atau mungkin segera memilih lebih tepat
Sulit menetapkan hati
Bila bimbang menguasai
Semoga aku tak salah
Salah pun tak akan kusesali
Benar pun tak akan berpengaruh
Label
Ajal
(1)
aku dan sahabatku
(1)
Aku Kan Tetap Menantimu (Teman)
(1)
Aku Pria Pemegang Impian
(1)
Asa Itu Masih Ada
(1)
asmara
(1)
bahasa kalbu
(2)
Begitu Pula Mereka
(1)
Berbeda Bukanlah Musuhmu
(1)
Bersatu Tanpa Perlu Sama
(1)
Bersiap pergi
(1)
bimbang
(1)
Bukan Sekedar Cinta
(1)
celoteh
(3)
celoteh seorang ibu
(1)
cermin
(1)
Cermin Keluguannya
(1)
cinta
(6)
Cinta Kan Selalu Hadir
(1)
Di antara sunyi dan senyap
(1)
Dirimu Adalah
(1)
duduk bersama
(1)
ego
(1)
Egoisme Semu
(1)
Engkau Indonesia
(1)
Esok Hari Akan Lebih Baik
(1)
Gadis Manis
(1)
gerutu
(1)
Hadapi Saja
(1)
Hanya Menjadi Sebuah Coretan di Relung Imaji
(1)
Hari Itu
(1)
helai
(1)
hubungan pertemanan
(2)
imajinatif
(7)
Indah (Bukan Untukku)
(1)
Jalanku Jalan Sunyi
(1)
Jangan Remehkan
(1)
Kacang
(1)
karya Khairil Haesy
(28)
kata
(1)
kelakar katak
(6)
kenangan
(2)
kepedihan
(1)
ketika
(1)
Ketika Asmara Menyentuh
(1)
Langit Aksara Nurani Haesy
(1)
ledek seorang anak
(1)
marah
(1)
Mati Perlahan
(1)
Melihat Iblis Menari
(1)
melukis langit
(1)
memaknai
(1)
memori
(1)
Meninggalkan Sisa Romansa
(1)
Menjadi Apa yang Diharapkan
(1)
Menjadi Bijak
(1)
menjaga
(1)
Menyimpan Resah
(1)
meredam ego
(1)
Monolog Bhisma
(1)
muhammad khairil
(13)
Muhammad Khairil Haesy
(47)
payung
(2)
Pelangi
(1)
penerus
(1)
Penuh Cipta Makna
(1)
Perkara Cinta I
(1)
Perlahan dan Pasti
(1)
Perpindahan
(1)
persahabatan
(2)
persaudaraan
(3)
pertengkaran
(1)
Prahara Rasa
(1)
puisi
(77)
puisi dan ilustrasi
(1)
puisi kenangan
(1)
puisi khairil haesy
(2)
Puisi Muhammad Khairil Haesy
(9)
puisi sastra
(9)
puisi tiga bagian
(1)
pulang
(1)
Raja Singa Jemawa
(1)
rasa
(1)
Rasa dan Cinta
(1)
rindu
(2)
Rindu Rumah
(1)
Ruang Senduku
(1)
sahut seorang bapak
(1)
salah
(1)
Sama Halnya Dengan Berjudi
(1)
sastra
(14)
Sebuah Keputusan
(1)
sedih
(1)
sekuntum
(1)
Sekuntum dan Helai
(1)
Selamat Berulang Tahun (Maaf Tak Ada Di Sisimu) Ayah
(1)
Selamat Jalan Sang Teknolog
(1)
senyawa hati
(1)
separuh
(1)
Sepasang Muda-Mudi
(1)
serapah takjub
(1)
sesaat dan terlupakan
(1)
Soal Menyelami Makna
(1)
Suara Hati Tak Pernah Ingkar
(1)
Sudah Berpulang
(1)
Sudah Biasa Terlupakan
(1)
Sudah Lama Rasanya
(1)
Tanpamu Ku Lemah
(1)
Tarian Pinggir Danau
(1)
Telah Terjalin Persaudaraan
(1)
teman
(1)
tentang manusia
(1)
Tragedi
(1)
ujaran
(2)
Untaian Kerinduan
(1)
untuk anakku
(1)
wajah muram itu
(1)
waktu
(1)
Selasa, 26 Maret 2013
Jumat, 22 Maret 2013
Telah Terjalin Persaudaraan
Pun aku hadir kembali
Bukan untuk merayu pintumu yang terkunci
Hanya sekedar ingin memberi uluran tangan
Sehingga tawamu dapat bersinergi dengan tawaku, memutar kembali kenangan
Pun aku menyapamu lagi
Bukan berarti aku masih mencari celah dirimu, tak sejengkal nurani
Hinggapan prasangka itu hadir, kawan
Sampai kapanpun aku tak akan kembali tertawan
Pun aku tak bertegur sapa nanti
Bukan berarti hilangkan jengkal cerita kau dan aku dalam hati
Hanya saja, aku tak ingin semua itu diterjemahkan dengan keterprasangkaan
Sehingga aku dan engkau hanya menjadi kucing dan tikus, keberadaan yang jauh dari kedamaian
Pun begitu adanya suatu hari
Bagi kau dan aku, memulai satu percakapan kembali
Haru biru itu akan menyenangkan
Syahdunya sudah terasa hari ini, karena kau dan aku telah terjalin persaudaraan
Bukan untuk merayu pintumu yang terkunci
Hanya sekedar ingin memberi uluran tangan
Sehingga tawamu dapat bersinergi dengan tawaku, memutar kembali kenangan
Pun aku menyapamu lagi
Bukan berarti aku masih mencari celah dirimu, tak sejengkal nurani
Hinggapan prasangka itu hadir, kawan
Sampai kapanpun aku tak akan kembali tertawan
Pun aku tak bertegur sapa nanti
Bukan berarti hilangkan jengkal cerita kau dan aku dalam hati
Hanya saja, aku tak ingin semua itu diterjemahkan dengan keterprasangkaan
Sehingga aku dan engkau hanya menjadi kucing dan tikus, keberadaan yang jauh dari kedamaian
Pun begitu adanya suatu hari
Bagi kau dan aku, memulai satu percakapan kembali
Haru biru itu akan menyenangkan
Syahdunya sudah terasa hari ini, karena kau dan aku telah terjalin persaudaraan
Bukan Sekedar Cinta
(I)
Peluklah aku, meski hujan elah usai
Jangan sampai, aku lupa pada sentuhan itu
Dekap dan terus dekap
Anggap saja besok aku kan tiada
Jangan biarkan aku memudar, dekap
Teruslah dekap, aku takut esok tak akan lagi bersua
Denganmu kekasih yang ku tuju
Saat ini memang masihlah aku bernafas
Entah esok, aku takut
Jangan sampai aroma pelukanmu
Membuatku tidak bisa pulang
Sungguh, kasih, aku takut
Memanen ketidakberdayaanku
Ketika dirimu atau aku harus pulang
(II)
Lihatlah benalu di ujung sana
Ia erat, mencengkram pohon inangnya
Lakukan itu padaku, kasihku
Aku telah ikhlas bila sari sukmaku
Kau hisap hingga aku meregang nyawa
Karena mati dalam dekapanmu
Merupakan satu di antara banyak akhir yang ku tuju
Tengok ke sana, lihat belalang sembah itu
Ia mendekap jantannya, mustahil lepas
Dan memakan kepala sang jantan hingga terlepas
Badan dan kepala terpisah, mati jadi santapan betinanya
Dekaplah aku seperti itu
Aku tak masalah, bila harus menjadi alasanmu untuk hidup
Meski aku akan berhenti menggapai nafasku
Demi keselarasan aliran darahmu
(III)
Cintaku padamu, bukan sekedar cinta
Karena cintaku bukan isapan jempol sang bayi
Cintaku sebuah manifestasi lembaran kisah hidup
Di mana tokohnya aku dan engkau
Ada senda-gurau, ada tangis
Ada amarah, ada kelesuan
Ada semangat, dan ada lunglai
Cintaku berkelok, menari bersama tinta kehidupanku
Dan kau, satu unsur bagian dari tinta itu
Peluklah aku, meski hujan elah usai
Jangan sampai, aku lupa pada sentuhan itu
Dekap dan terus dekap
Anggap saja besok aku kan tiada
Jangan biarkan aku memudar, dekap
Teruslah dekap, aku takut esok tak akan lagi bersua
Denganmu kekasih yang ku tuju
Saat ini memang masihlah aku bernafas
Entah esok, aku takut
Jangan sampai aroma pelukanmu
Membuatku tidak bisa pulang
Sungguh, kasih, aku takut
Memanen ketidakberdayaanku
Ketika dirimu atau aku harus pulang
(II)
Lihatlah benalu di ujung sana
Ia erat, mencengkram pohon inangnya
Lakukan itu padaku, kasihku
Aku telah ikhlas bila sari sukmaku
Kau hisap hingga aku meregang nyawa
Karena mati dalam dekapanmu
Merupakan satu di antara banyak akhir yang ku tuju
Tengok ke sana, lihat belalang sembah itu
Ia mendekap jantannya, mustahil lepas
Dan memakan kepala sang jantan hingga terlepas
Badan dan kepala terpisah, mati jadi santapan betinanya
Dekaplah aku seperti itu
Aku tak masalah, bila harus menjadi alasanmu untuk hidup
Meski aku akan berhenti menggapai nafasku
Demi keselarasan aliran darahmu
(III)
Cintaku padamu, bukan sekedar cinta
Karena cintaku bukan isapan jempol sang bayi
Cintaku sebuah manifestasi lembaran kisah hidup
Di mana tokohnya aku dan engkau
Ada senda-gurau, ada tangis
Ada amarah, ada kelesuan
Ada semangat, dan ada lunglai
Cintaku berkelok, menari bersama tinta kehidupanku
Dan kau, satu unsur bagian dari tinta itu
Rabu, 13 Maret 2013
Memaknai
Waktu bukan sebuah ukuran
Sebuah pijakan itu kuat atau bukan
Waktu bukan sebuah alasan
Sebuah perjalanan terselesaikan
Hidup bukan sekedar berlari dan berlari
Hidup itu memaknai
Runtuhnya daun yang menguning
Rontok redam mengayun hingga sampai di tanah
Tiada benar bila berujung maki
Tiada benar bila berujung caci
Hanya kedengkian semu
Atas harapan palsu
Manusia yang terjebak beku
Hanya menjadi kepala naga pun tak cukup
Bila hanya menggeliat bak cacing
Karena dunia lebih lebar dari bunga terkuncup
Dan dunia tak sekedar sejejak jalan berlubang
Jumat, 08 Maret 2013
Kacang
Ada, terasa tak ada
Alot, berupaya renyah
Diolah dalam variatif
Dikunyah beda suara
Kadang, kulit tak jadi masalah
Kadang, lengkap dan sempurna
Kadang, hilang satu
Kadang, bersama dalam satu ruangan
Kadang, sendiri menantang serangan gemeretak gigi
Halus, sebelum dan sesudah
Ada pula kasar dan urakan
Tak tertebak mata telanjang
Keberadaan yang hanya dirasa
Bertemu setiap saat
Malam peneman begadang
Siang peneman menonton televisi
Sore peneman kesepian sesaat
Alot, berupaya renyah
Diolah dalam variatif
Dikunyah beda suara
Kadang, kulit tak jadi masalah
Kadang, lengkap dan sempurna
Kadang, hilang satu
Kadang, bersama dalam satu ruangan
Kadang, sendiri menantang serangan gemeretak gigi
Halus, sebelum dan sesudah
Ada pula kasar dan urakan
Tak tertebak mata telanjang
Keberadaan yang hanya dirasa
Bertemu setiap saat
Malam peneman begadang
Siang peneman menonton televisi
Sore peneman kesepian sesaat
Gerutu
Gerutu
Pada tarian debu
Pada jemari jadi cemburu
Memburu
Gerutu
Bukan cerutu
Bukan isapan lalu
Haru
Gerutu
Andaian jadi satu
Andaian perahu
Samudra ke hulu
Gerutu
Kalah terburu
Kalah jadi saru
Gerutu
Pada tarian debu
Pada jemari jadi cemburu
Memburu
Gerutu
Bukan cerutu
Bukan isapan lalu
Haru
Gerutu
Andaian jadi satu
Andaian perahu
Samudra ke hulu
Gerutu
Kalah terburu
Kalah jadi saru
Gerutu
Seperti Lelaki Tanpa Sarung
Sampaikan pada plankton di lautan
Bahwa cumbu rayunya sudah tersampaikan pada amuba di ujung sana
Katakan bahwa dunia
Sudah tak lagi berdecak kagum pada kehidupan
Hanya menjalani rutinitas seharusnya
Sampaikan juga, jika manusia-manusia
Saling membuat gaduh
Siapa lawan siapa
Menang busungkan dada, kalah telungkup malu mengeluh
Pandailah menyampaikannya
Agar burung-burung itu tak berkicau tanggung
Bahaya bila itu terjadi
Seperti lelaki tanpa sarung
Keterbukaan menjadi hal yang dipermalukannya
Celakalah bilah burung yang berkicau
Karena kenyataan akan tertunda
Untuk sementara hingga batas waktu yang tak tentu
Membuat jantung berdebar penasaran di suatu beranda
Bahwa cumbu rayunya sudah tersampaikan pada amuba di ujung sana
Katakan bahwa dunia
Sudah tak lagi berdecak kagum pada kehidupan
Hanya menjalani rutinitas seharusnya
Sampaikan juga, jika manusia-manusia
Saling membuat gaduh
Siapa lawan siapa
Menang busungkan dada, kalah telungkup malu mengeluh
Pandailah menyampaikannya
Agar burung-burung itu tak berkicau tanggung
Bahaya bila itu terjadi
Seperti lelaki tanpa sarung
Keterbukaan menjadi hal yang dipermalukannya
Celakalah bilah burung yang berkicau
Karena kenyataan akan tertunda
Untuk sementara hingga batas waktu yang tak tentu
Membuat jantung berdebar penasaran di suatu beranda
Serapah Takjub
Tiada arang mencinta api sebelah pihak
Karena api sungguh mencintai arang
Tanpa arang, api tak akan terbahak
Tanpa api, arang hanya seonggok penghalang
Tiada pohon meninggalkan air
Karena air bagian hidupnya
Tanpa pohon, air tetap mengalir
Tanpa air, pohon layu hidupnya
Serapah takjub pada alam
Puji sumpah tak akan terucap
Sore menjadi benderang, usir kelam
Seraya pagi membujuk malam dengan tangan mengusap
Biarkan kendi menampung air, dan arang menari bersama api
Agar pepohonan pun merasa berguna
Sebuah harmonisasi
Kehidupan yang menjadi ada
Karena api sungguh mencintai arang
Tanpa arang, api tak akan terbahak
Tanpa api, arang hanya seonggok penghalang
Tiada pohon meninggalkan air
Karena air bagian hidupnya
Tanpa pohon, air tetap mengalir
Tanpa air, pohon layu hidupnya
Serapah takjub pada alam
Puji sumpah tak akan terucap
Sore menjadi benderang, usir kelam
Seraya pagi membujuk malam dengan tangan mengusap
Biarkan kendi menampung air, dan arang menari bersama api
Agar pepohonan pun merasa berguna
Sebuah harmonisasi
Kehidupan yang menjadi ada
Langganan:
Postingan (Atom)