Mati Menjadi Sebuah Opsi

Aku berada

Lebih condong ke arah gelap

Dan rasa-rasanya

Mati menjadi sebuah opsi

Entahlah, 

Gejolak di dada

Kebisingan di kepala

Saling beradu jotos

Berupaya

Menguasai tiap sendi dan tulang

Untuk rebahkan tubuh

Dan hentikan napas

Tak Apa-Apa

Bila dinilai aku bodoh

Karena aku mencintaimu

Tak apa-apa

Sebab mencintaimu

Sama selaiknya

Aku bernapas

Bila dinilai dungu

Karena mengharapkan

Kebahagiaanmu

Tak apa-apa

Sebab melihatmu

Bahagia itu cukup

Untuk aku tenang

Bila dinilai tolol

Karena masih menunggumu

Yang tak mungkin menoleh padaku

Tak apa-apa

Sebab itu menjadi asa

Yang membuatku

Bisa bertahan

Dan bangkit

Dari jatuh

Meski berdarah-darah untuk bangkit

Sekedar Mengagumimu

Senja itu

Tak akan terasa

Keindahanannya bila

Dinikmati tanpa dirimu

Karena keberadaanmu

Memberi riak keceriaan

Sentuhanmu sirnakan

Segala rasa galau

Izinkan aku

Untuk sekedar

Mengagumimu

Walau hanya

Melalui bisikan angin

Yang melukiskan

Lebar senyummu

Dari kejauhan sana

Malam itu

Tak akan cerah

Oleh bulan menyala

Tanpa hadirnya imajimu

Karena keberadaanmu

Memberi inspirasi

Imaji kehidupan sejati

Di tengah bayangan semu

Aku Memang Bodoh

Pernah aku mendengar

Apa yang bukan milikmu

Tak akan jadi milikmu

Bila tak ada ridho

Pemilik semesta

Ya, aku percaya itu

Hanya saja

Aku manusia biasa

Yang berharap

Apa yang ku kejar

Dapat aku raih

Meski terlihat mustahil

Aku tetap mengejarnya

Bodoh memang

Ya, bodoh

Aku memang bodoh

Mengejar yang tidak pasti

Meninggalkan yang sudah pasti

Hanya demi

Hasrat diri

Merengkuh indahnya

Cahaya rembulan di musim semi

Kiranya Waktu

Kiranya waktu

Belum bisa menjawab

Kapan lumuran merah ini

Hilang

Dan dia kembali

Memahami dan mengerti

Keberadaanku ini

Kiranya waktu

Masih akan seperti ini

Masih dia yang menjauh

Dan aku yang mengagumi

Dirinya dari kejauhan

Keputusasaan Menghantui

Keputusasaan

Selalu menghantui

Gerak langkahku ini

Segala rencana

Yang kutulis dengan tinta

Harapan

Kerap terhapus perlahan

Setiap kali kucoba

Terus menulis

Rencana kehidupan

Selang itu juga

Keputusasaan

Mengambil penghapus

Mencoba menghapus

Rencana

Kehidupanku

Gelap Menarikku

Gelap kala itu

Masih menarikku

Untuk melangkahkan kaki

Menuju cahaya di ujung mata

Berat rasanya

Untuk langkahkan kaki

Selalu tertarik

Mencoba melawan

Dayaku terbatas

Hingga rasanya

Memeluk sepi

Adalah caraku

Bertahan hidup

Saat ini

Entah sampai kapan

Aku masih tak memahami

Keputusan

Keputusan harus dibuat

Aku menggores luka

Pada hati yang murni

Namun itu juga mengikis hatiku

Harus kuputuskan

Sebab angin hidupku

Tak mungkin reda

Dalam waktu napas yang pendek

Sebab langkahku

Masih terseok-seok

Terbelenggu masa lalu

Terjangkar luka yang masih basah

Tak ku benarkan pula

Sikap dan keputusanku

Namun itu perlu

Agar aku tak mengkelamkan

Dunianya yang sudah indah

Keberadaannya akan abadi

Dalam relung kenangan

Dan sisa napasku

Di bumi

Aku Manusia

Tak bisa mata

Memandang angin

Tapi kulit

Dapat merasakannya

Tak bisa senja

Dinikmati di kala subuh

Sebab kala itu

Menjadi kala fajar mengilhami

Aku manusia

Memandang keindahan dunia

Semenjak belia

Hingga nanti lansia

Misteri alam semesta

Tetap menjadi misteri

Meski raga mempelajari

Tetap ujung napas tiada yang tahu

Apa yang Tampak

Apa yang tampak indah

Pada rembulan

Bukanlah permukaan sebenarnya

Apa yang tampak kusam

Pada kerang berlumut

Bukanlah penanda kualitas mutiaranya

Apa yang tampak

Tak selalu

Sesuai apa yang sebenarnya

Sukma yang Hidup

Napas yang terhembus

Penanda diri ini hidup

Secara ragawi

Bukan sukmawi

Tanda sukmamu hidup

Ada pada kebangkitan

Dari jatuhmu

Saat menerjang badai dunia

Sukmamu hidup

Kala dirimu

Tak patah

Pada kekecewaan hati

Amarah

Entah dari mana

Bara amarah kerap menyala

Membakar segala

Keindahan di depan mata

Entah dari mana

Mata memerah

Mengeluarkan amarah

Tarkala sepasang mata

Memberikan kasih cinta

Pada diri yang pernah terluka

Hingga melukainya

Tanpa ada niat menghancurkannya

Amarah ini

Amarah tak perlu

Amarah yang menandakan

Diri memang harus menyendiri

Pikiran Melayang

Pikiran tengah melayang

Ketika malam menyulam awan

Hilir mudik imaji

Kenangan

Memori

Tentang kebahagiaan

Tentang luka

Tentang keruntuhan

Tentang kebangkitan

Dan

Tentang bintang harapan

Yang sinarnya

Belum dapat ku gapai

Dengan jemariku

Yang penuh luka

Sekilas Kata

Sekilas kata

Tiada membawa api

Tetiba membakar

Jerami di ujung bukit

Tiada tahu

Apa kata-kata itu

Mampu membakar

Jerami nan jauh

Hanya sekelibat lewat

Namun api telah menyala

Sebab musababnya ialah kata

Kata yang biasa saja

Kata tanpa sayap-sayap

Kata seadanya

Senja Itu Nikmat

Senja itu

Menyenangkan bila

Dinikmati bersama

Warnanya yang senduh

Suasananya yang teduh

Terlebih, bila dinikmati

Bersama secangkit kopi

Dan gorengan bakwan

Duh, nikmat dunia

Senja itu

Paling bisa

Membuat hati

Lepaskan penat dunia

Memandangnya

Lepas segala

Khawatir batin

Dan lelah fisik

Oh, inginnya

Ku rebahkan tubuh

Saat senja nanti